Thursday, January 19, 2006

Tamu Istimewa

Semua anak menangis. Tangisan pertama pecah dari rumah Pak Rangganana, Kepala Desa Pelangi, dan merembet ke rumah-rumah lain. Ada apa? Kenapa ada koor tangisan?

Para orang tua sibuk menenangkan anak-anak. Tapi, belum ada yang tahu alasan anak-anak menangis nyaris serentak. Anak-anak di setiap rumah memilih diam dan menyepi di kamar. Hari itu tidak ada tawa dan canda. Desa Pelangi mendung dalam sekejap.

Tiba-tiba terdengar bunyi sirene. Semua orang buru-buru keluar rumah. Anak-anak juga berhamburan mendekati pintu gerbang dengan mata merah dan bekas air mata di pipi. Suasana riuh. Sirene juga tidak berhenti meraung.

Semua mata memandang kaca mobil bersirene yang gelap itu. Menanti pintu terbuka. "Wahhhhh!" Anak-anak berloncatan. Orang tua bertepuk tangan. Semua gembira melihat orang yang keluar dari pintu depan mobil sedan itu.

"Sronokil!"

"Sronoki!"

Sronokil datang!" "Hore!" Semua bersorak.

Anak-anak bergegas mendekati Sronokil. "Katanya nggak mau ke sini," kata Kucila, anak bungsu Pak Kepala Desa merajuk. "Iya, aku nggak berbohong lagi," Milaweli, kakak perempuan Kucila, bicara sambil melap air mata di pipi tembemnya. Anak-anak yang lain bicara serentak.

"Iya, iya, tapi Sronokil sudah di sini."

"Sronokil minta maaf."

Tidak perlu sedih lagi, ya. Nanti Sronokil sedih..." Bibir Sronokil menekuk, rahangnya mengeras. Suasana hening.

"Wodela sayang Sronokil," Wodela memeluk erat Sronokil yang berjongkok di tengah anak-anak. Anak-anak yang lain berebut memeluk Sronokil. Suasana kembali gembira. Sronokil menyalami dan memeluk anak-anak satu per satu.

"Sronokil janji akan menepati janji," kata Sronokil.

Rupanya anak-anak menangis karena Sronokil, tamu istimewa yang ditunggu-tunggu, tiba-tiba membatalkan kunjungan ke Desa Pelangi. Sronokil tidak bisa datang ke Desa Pelangi karena takut bisul di tangannya pecah ketika anak-anak berebut memeluknya. Namun, bisul yang mengganggu itu pecah sendiri ketika Sronokil baru selesai menelepon Milaweli, anak Pak Kepala Desa.

"Ayo semua menari," kata Pak Kepala Desa, bertepuk tangan. Pak Mikaveli yang selalu membawa banjo segera memainkan alat musiknya. Teman-teman Pak Mikaveli juga sudah siap dengan alat musik masing-masing. Pak Kripos memainkan gitar. Pak Silavi beraksi dengan akordeonnya dan Pak Pokapong memukul perkusinya. Jadilah hari itu penuh musik dan tarian.

Wednesday, January 18, 2006

Tante Unggrung

Grung grung grung. Itu bunyi sepeda motor Tante Unggrung. Anak-anak di Desa Pelangi selalu menyambut tante yang selalu memakai alas kaki berwarna ungu ini dengan semangat. Mereka berhamburan menuju pintu gerbang Desa Pelangi. Menanti, berharap, dan penasaran melihat kantong-kantong yang menggantung di sepeda motor Tante Unggrung.

Tante Unggrung selalu datang setiap Senin. Setelah mencari tempat parkir di antara puluhan sepeda mini, Tante Unggrung memutar gas dengan kencang: grung grung grung dan mematikan mesin. Satu per satu kantong berwarna kuning kecokelatan diturunkan. Pak Krembon, tukang parkir, segera membantu membawa kantong-kantong ke depan pintu gerbang.

Tante Unggrung dan Pak Krembon segera menuju kursi panjang dan meja kayu yang satu sisinya mampu menampung sepuluh anak. Sepuluh anak langsung mengambil tempat menghadap Tante Unggrung . Sedangkan Pak Krembon berdiri di belakang Tante Unggrung sambil meremas-remas kedua tangannya.

Kali ini, setiap anak mendapatkan boneka cokelat seukuran jari tengah orang dewasa. Ada yang langsung menyantap boneka bermata hijau itu. Ada beberapa anak yang membungkus boneka cokelat dengan plastik bening untuk dijadikan mainan. Krewole, anak Pak Krembon, memberikan hadiahnya pada ayahnya. "Saya lagi sakit gigi," kata Krewole setelah mengucapkan terima kasih pada Tante Unggrung.

Tante Unggrung selalu datang dengan berbagai hadiah. Di setiap kado selalu ada pesan yang ditulis tangan oleh Tante Unggrung. Krewole misalnya, mendapat hadiah apel dan pisau lipat yang dimasukkan dalam tas pinggang berbahan parasut. Di kantong depan tas ada kartu kecil putih bergambar kapal terbang dengan tulisan: "Bersyukurlah dalam segala hal."

Tidak ada satu anak pun yang tahu rumah Tante Unggrung. Mereka juga tidak pernah menanyakan nama asli Tante Unggrung yang semula disangka Bu Pos, istri Pak Pos. Tante cuma tersenyum saat dipanggil Unggrung oleh, Jimrong, anak berkulit paling gelap di Desa Pelangi. Nama itu diberikan Jimrong dengan menyambung warna sepatu yang dikenakan dan bunyi grung dari sepeda motor Tante.

Selesai memberikan paket kepada anak-anak, Tante Unggrung langsung tancap gas dan menghilang begitu cepat setelah mengeluarkan bunyi grung grung grung tanda berpisah. "Hati-hati Tante Unggrung. Dahhhhhhh," kata anak-anak melambaikan tangan.

Tuesday, January 17, 2006

Welcome

"Selamat Datang di Desa Pelangi! Selamat Datang di Desa Pelangi! Selamat Datang di Desa Pelangi!," tiga gadis kecil berteriak serempak tepat di bawah plang besar bertulisan "SELAMAT DATANG DI DESA PELANGI.

Masing-masing anak mengenakan baju berwarna menyolok, merah biru, dan hijau. Ketiganya menunjuk ke arah tulisan "Buku Tamu" dan segera berlari-lari menuju teman-teman yang asyik bermain di lapangan tak jauh dari pintu gerbang.

Ada tujuh kolom yang harus diisi dalam buku tamu. Pensil warna-warni berdesakan dalam kemasan minuman plastik bening yang diletakkan di samping buku tamu. Di kolom pertama, berwarna merah, tertulis nama dan tempat tanggal lahir. Disusul kolom hijau: hobi, cokelat: warna kesukaan, kuning: binatang peliharaan, biru: makanan favorit. Kolom berwarna ungu untuk film kegemaran dan terakhir, kolom berwarna pink buat cita-cita.

Setelah mengisi semua kolom, dua anak dengan wajah dan ukuran tubuh nyaris mirip, mmm, mungkin kembar, menawarkan permen warna-warni yang memenuhi nampan berbentuk kepala kelinci. "Ambil hadiah di sana," kata si kembar menunjuk ke arah rumah pohon yang dijaga dua boneka kelinci....